Senin, 15 Desember 2014

Kasus bank Century

JAKARTA, KOMPAS.com — Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas mengatakan, terdapat interval yang cukup besar antara kerugian negara atas dana talangan yang disuntikkan pemerintah untuk Bank Mutiara (sebelumnya bernama Bank Century) dan harga pembelian oleh perusahaan investasi asal Jepang, J Trust.
Total penyertaan modal sementara (PMS) oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) di Bank Mutiara sebesar Rp 8,1 triliun. Sementara itu, Bank Mutiara diperkirakan terjual senilai Rp 5,2 triliun kepada J Trust.
"Letak masalahnya di situ. Mengapa ada interval?" ujar Busyro di Jakarta, Rabu (12/11/2014).
Busyro mengatakan, hal tersebut menunjukkan adanya suatu proses yang perlu didalami penyidik dalam pengembangan kasus Bank Century. Menurut dia, KPK akan menelaah apakah dalam interval harga tersebut terdapat indikasi adanya penggelapan dana atau kickback yang menyebabkan kerugian negara.
"Nanti akan kami telaah interval itu, apakah ada abuse-nya atau tidak, dan apakah di balik abuse itu kemudian ada kickback atau tidak," ujarnya.
Namun, hingga saat ini, Busyro mengaku bahwa pihaknya belum menelisik dugaan tersebut. Ia mengatakan, KPK masih akan melihat hasil verifikasi Otoritas Jasa Keuangan dan Badan Pemeriksa Keuangan terkait pembelian Bank Mutiara oleh J Trust.
"Ini kan jadi kewenangan instansi lain, yaitu dari BPK, kemudian masuk ke kami. Baru setelah masuk, kami akan menelisiknya, ada tidak unsur-unsur kickback tadi," kata Busyro.
Sebelumnya, Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menilai, penjualan Bank Mutiara belum maksimal dan tidak sesuai dengan bail out yang disuntikkan pemerintah untuk bank tersebut. Pada November 2008, LPS mengambil alih Bank Century melalui penyertaan modal sementara (PMS) sebesar Rp 6,7 triliun pada November 2008.
Kemudian, akhir Desember 2013, LPS menambah PMS ke Bank Mutiara sebesar Rp 1,4 triliun sehingga total PMS LPS di Bank Mutiara menjadi Rp 8,1 triliun. JK juga mengakui adanya kerugian negara jika Bank Mutiara dijual dengan harga yang lebih kecil dari dana yang digelontorkan pemerintah untuk bank tersebut, yang nilainya mencapai Rp 8,1 triliun.
Menurut JK, ada kondisi-kondisi tertentu yang disepakati dalam perjanjian jual beli Bank Mutiara antara LPS dan J Trust sehingga harga beli lebih rendah dari nilai bail out.
LPS menjual Bank Mutiara kepada J Trust, lembaga investasi yang berkantor pusat di Tokyo, Jepang, dan berdiri pada 18 Maret 1977. Perusahaan ini juga mengambil alih 10 persen saham PT Bank Mayapada Internasional Tbk.
Mengenai nilai pembelian Bank Mutiara, LPS belum bisa mengungkapkannya kepada publik. Kepala Eksekutif LPS Kartika Wirjoatmodjo pernah menjelaskan, salah satu pertimbangan dalam menentukan calon investor adalah kesediaannya mengembangkan Bank Mutiara.
Ekuitas Bank Mutiara per Desember 2013 sebesar Rp 1,3 triliun. Dengan harga standar 3,2 kali nilai buku, Bank Mutiara diperkirakan terjual Rp 4,16 triliun. Namun, tidak tertutup kemungkinan, Bank Mutiara terjual dengan harga di atas standar, yang berkisar 3,5 kali hingga 4 kali nilai buku atau setara dengan Rp 4,55 triliun-Rp 5,2 triliun.
Nilai di atas Rp 3 triliun itu terbukti dari tidak lolosnya PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI sebagai pembeli. BRI menyediakan dana Rp 3 triliun untuk membeli Bank Mutiara. Kendati demikian, LPS menjamin penjualan Bank Mutiara sudah sesuai dengan prosedur. Setelah pengalihan saham, hak-hak nasabah tetap sama seperti saat Bank Mutiara masih dimiliki oleh LPS.