HARUS KUAT SEPERTI ULAT..
Seperti biasa, pada pagi buta Andi harus bersiap menuju sekolah dengan mengendarai sepeda butut kepunyaan ayahnya. Andi terlahir dari keluarga yang kurang berada, dimana dia harus mencari uang sendiri untuk keperluan sekolahnya. Seusai sholat subuh, Andi selalu memetik kangkung di rawa belakang rumahnya. Kegiatan ini rutin dilakukan demi memenuhi keperluan sehari-hari. Dengan singkong rebus sebagai sarapan pagi ditambah air tajin bekas mananak nasi, tampaknya perut Andi cukup bergembira karena telah mendapatkan asupan gizi yang akan bermetabolisme menjadi energi dalam menyongsong aktivitas hari ini.
Seperti biasa, pada pagi buta Andi harus bersiap menuju sekolah dengan mengendarai sepeda butut kepunyaan ayahnya. Andi terlahir dari keluarga yang kurang berada, dimana dia harus mencari uang sendiri untuk keperluan sekolahnya. Seusai sholat subuh, Andi selalu memetik kangkung di rawa belakang rumahnya. Kegiatan ini rutin dilakukan demi memenuhi keperluan sehari-hari. Dengan singkong rebus sebagai sarapan pagi ditambah air tajin bekas mananak nasi, tampaknya perut Andi cukup bergembira karena telah mendapatkan asupan gizi yang akan bermetabolisme menjadi energi dalam menyongsong aktivitas hari ini.
“Emak, Andi sudah siap nih mau pergi ke
sekolah!” kata Andi kepada emaknya.
“Oh ya nak, jangan lupa 10 ikat kangkung tadi dibawa yah! Titip ke mbok Leni di pasar pagi lematang sana,” sahut emak Andi.
“Iya emak, sudah andi letakan di keranjang sepeda,” balas Andi.
“Oh ya nak, jangan lupa 10 ikat kangkung tadi dibawa yah! Titip ke mbok Leni di pasar pagi lematang sana,” sahut emak Andi.
“Iya emak, sudah andi letakan di keranjang sepeda,” balas Andi.
Emak pun segera menuju depan rumah, Andi
langsung pamitan sambil mencium tangan emaknya. Kegiatan ini selalu dilakukan
Andi tiap mau pergi sekolah, dia yakin kalau mencium tangan emaknya, maka
semesta alam akan memperlancar semua kegiatannya. Andi sangat mencintai emak
dan akan selalu menyayangi emak sampai kapanpun dan dimanapun.
“Hati-hati yah Andi di jalan, emak selalu mendoakanmu,” pesan emak kepada Andi.
“Iya mak,” kata Andi. “Dan jangan lupa baca doa keluar rumah!”, pesan emak lagi.
“Hati-hati yah Andi di jalan, emak selalu mendoakanmu,” pesan emak kepada Andi.
“Iya mak,” kata Andi. “Dan jangan lupa baca doa keluar rumah!”, pesan emak lagi.
Kangkung telah menari-menari di keranjang
sepeda karena tiupan sunyi angin pagi. Sweater coklat lusuh kini membalut tubuh
kurus Andi, dengan niat dan tekad dia berjuang mati-matian agar sampai tempat
peraduan sumber ilmunya. “Bismillahi tawakaltu allohlohilahawlawalakuata illabillah,”
bisik Andi mengawali perjalanannya. Andi yang baru menginjak umur 12 tahun yang
kini duduk di bangku kelas 1 Madrahasah Tsanawiyah itu mempunyai keinginan yang
harus segera terpenuhi. Keinginannya itu selalu ia ucapkan di sela-sela zikir
dan doanya. Mungkin bagi sebagian besar orang sangat mudah untuk mewujudkan
keinginannya. Tapi apa daya, Andi yang terlahir dari keluarga dibawah garis
kesederhanaan itu, hanya doa dan usaha kecil-kecilan yang dilakukannya untuk
mewujudkan keinginan tersebut. “Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya
kepada Engkaulah kami memohon pertolongan,” Andi sangat percaya dengan kalimat
Allah tersebut.
Andi mengayuh terus menuju pasar pagi
Lematang. Lelah kaki tak menjadi halangan untuk terus menggapai impian, zikir-zikir
Allah selalu mengiringi kayuhan sepedanya. Dia percaya, peluh keringat yang
keluar dari pori-porinya, akan dibayar mahal oleh Allah sebagai reward
perjuangannya selama ini. Tulisan Selamat Datang Pasar Pagi Lematang telah
menghipnotis matanya, menggerakan saraf motorik menuju otak mengirimkan berita
melalui influs-influs agar kaki pendeknya dengan cepat mengayuh pedal sepeda
agar sampai ke peraduan. “Assalamualaikum mbok Leni. Ini ada titipan kangkung
10 ikat dari emak. Tolong dijual yah mbok! Andi mau nimbah ilmu dulu di MTs
Muhammadiyah Lematang”, kata Andi sambil meletakan kangkung ke terpal jualan
mbok Leni. “Ya sudah sini mbok jualanin kangkungnya,” balas mbok Leni.
“Terimakasih Mbok,” sahut Andi. “Yowes, hati-hati di jalan yah, entar kalau pulang
sekolah ke sini lagi untuk ambil uang hasil jualan kangkungnya,” pesan mbok
Leni.
Matahari telah menampakkan silaunya, temaram
sinar lampu jalan kini tak terlihat lagi, hilang terbelokan cahaya orange
berkas surya berbuih. Sepatu Andi yang robek bagian depan, kini menjadi saksi
bisu dalam rangka mendapatkan setetes ilmu. Kaki mungilnya kini terus mengayuh
sepeda tua yang berhiaskan karat buta. Di dalam lamunan perjalanannya, Andi
berharap agar dapat membeli tas baru. Uang dari penjualan kangkung, ia sisakan
sedikit demi sedikit agar keinginannya itu tercapai. Tanpa rasa malu, Andi
sekarang hanya memakai tas robek yang penuh jahitan tangan ibunya. Sepertinya
tas itu tidak mampu lagi menahan beban buku yang dibawanya, meraung kesempitan
dan meminta agar mendapat tempat yang lebih bagus dan kuat menahan mereka. Apa
boleh buat, Andi hanya diam seribu kata dan berharap uang yang dia tabung dapat
terkumpul cepat untuk membeli tas yang baru. Untuk mengantisipasi agar
buku-buku yang berdesakan dalam tasnya, Andi meletakannya di keranjang sepeda,
bekas manaruh ikatan kangkung tadi.
Hampir setengah jam berlalu, tibalah Andi di
depan Madrahasah Tsanawiyah Lematang. Sepeda tua itu diparkirnya di dekat
pagar. Langkah kakinya menggiring dia menuju lorong-lorong sekolah. Di sela
keramaian siswa-siswi yang berkeliaran di lorong-lorong sekolah, telinga Andi
mendengar sesuatu yang memanggilnya. Suara itu semakin mendekat dan kini
semakin jelas. “Andi, Andi, Andi!” Suara cewek itu semakin mendekat.
Kelihatannya itu adalah Tina, teman sekelasnya. “Andi, kamu menang lomba pidato
kemarin, selamat yah!” kata Tina. “Ha? Apakah benar kabar itu tin?
Alhamdulillah sekali,” kata Andi. Tina lanjut membalas, “Dan hadiahnya itu di,
tas baru yang harganya mencapai 250 ribu. Tas mahal dengan kualitas nomor
satu.” “Alhamdulillah Tin, perjuangan ku selama ini tidak sia-sia,” balasnya.
Lima jam di sekolah tampaknya berjalan cepat
sekali. Tiap detik, tiap menit, bahkan tiap jam, Andi selalu bersyukur atas
hadiah lomba yang dia dapat. Kegembiraan itu tampaknya terpancar mempesona dari
wajah lugunya. Senyum sumringah kini membingkai wajah Andi, rasanya dia tak
sabar ingin cepat pulang ke rumah, menunjukan tas baru itu kepada emaknya.
Lonceng telah berbunyi, menandakan pelajaran
di kelas telah usai. Andi segera berlarian menuju parkir sepeda dekat pagar
tadi. Sepeda telah siap untuk dikendarai, dan meluncurlah Andi menuju pasar
Lematang. Lagi-lagi dia bersyukur karena hasil dagangan kangkungnya habis
terjual. Walhasil, uang biru pun melekat erat di tangannya. Sepeda tua itu
dikayuhnya semakin cepat, bahkan secepat kilat. Tak terasa, tubuh Andi yang
bermandikan keringat menjadi tanda bahwa dia sangat cepat mengendarai kereta
angin itu.
Tibalah dia di depan rumah dengan pemandangan
yang tak biasa. Raut mukanya yang sumringah kini berubah menjadi pucat pasi.
Pak Norman, pemilik rumah, datang menagih tunggakan bayar sewa rumah. Ibunya
cuma pasrah sepertinya mereka akan diusir dari rumah itu. “Emak kita tidak
boleh pergi dari rumah ini, lebih baik jualkan saja tas baru ini mak,” kata
Andi kepada emaknya. Dengan berat hati Andi menjualkan tas mahal itu untuk
membayar sewa rumah. Ikhlas, tidak ikhlas Andi harus ikhlas karena inilah jalan
satu-satunya. Hasil penjualan tas, hasil tabungannya selama ini, dan hasil
penjualan kangkung tadi dikorbankan untuk membayar sewa rumah. Semua habis tak
bersisa, Andi pasrah dan harus memulai dari nol lagi.
Langit kini menjadi gelap, burung-burung di
langit terbang pulang ke sarangnya. Tak kalah saing, kelelewar hitam pergi berkelana
mencari makan menandakan maghrib telah datang. Andi masih mengenang tas baru
itu dan tabungannya selama ini. Celengannya sekarang hampa tanpa uang, sehampa
hatinya sekarang. Keinginannya untuk mendapat tas baru itu harus padam dulu,
menunggu api rezeki yang diberikan Allah, dimana api tersebut dapat membakar
semangat Andi untuk mendapat tas baru lagi. Andi percaya kalau rezekinya tidak
akan pernah tertukar. Dia sadar setiap orang ada rezekinya masing-masing,
rezeki itu bukan dicari, melainkan dijemput. Untuk sementara ini, dia harus
kuat sebagai ulat apabila ingin menjadi kupu-kupu yang terbang bebas dengan
sayap kejayaanya.
Malam kian larut, mata pena yang menggoreskan
tinta kehidupan di buku diary Andi hampir mencapai limitnya. Sepertinya dia
harus membeli tinta kehidupan yang baru. Tubuhnya kini lekas terbaring di dipan
tua milik ayahnya. Berjuta impian dan keinginannya masih belum rampung untuk
direalisasikan. Otak kanannya masih berproses menuju suatu masa dimana dia
nanti mendapatkan dedikasi emas atas perjuangannya selama ini. Andi percaya,
orangtuanya ridho, semesta alam bertasbih, dan buih-buih tanda berlian
bermunculan. Dia percaya, sebelum menjadi kupu-kupu kesuksesan harus kuat
menjadi ulat perjuangan. Senyum pengharapan terukir paksa di wajahnya ketika
melihat tas lama yang penuh jahitan itu menggantung di dinding kamarnya.
“Selamat malam dunia, bismika allohuma aya wabismika amuut,” bisik Andi membaca
doa sebelum tidur tanda mengakhiri aktivitas hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar